Entrepreneurship Sebuah Refleksi |
|
Jumat, 2010-08-27 : 11:29:17 |
Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti Training of Trainers bagi dosen perguruan tinggi se-Indonesia. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) berkerjasama dengan Univesitas Ciputra (UCEC) Surabaya tersebut, mengharapkan adanya peran lebih perguruan tinggi dalam mempersiapkan lulusannya. Dari kegiatan tersebut terlihat jelas ada sebuah langkah maju untuk mempersiapkan lulusan perguruan tinggi, yang notabene adalah kalangan terdidik, bukan saja dipersiapkan untuk memasuki dunia kerja, tapi diharapkan akan menjadi entrepreneur baru, yang mampu menciptakan lapangan kerja baru, bukan mencari kerja.
Training kepada para dosen ini diharapkan para dosen mampu menjadi problem solving atas masalah lulusan perguruan tinggi di Indonesia. Perlunya metode pengajaran baru, bukan sekedar memperkenalkan entrepreneur kepada mahasiswa yang didiknya, tetapi menggugah sisi entrepreneur agar mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi akan memiliki kreatifitas, inovasi, dan semangat pantang menyerah.
Disadari lapangan kerja yang terbatas sudah tentu akan membatasi langkah setiap lulusan, tak jarang setelah lulus belasan bahkan puluhan surat lamaran disampaikan, dan uang yang dipakai untuk mengikuti seleksi sudah banyak dihabiskan, namun tidak sesuai dengan skill (keahlian) yang dimiliki oleh lulusan dan yang diinginkan oleh perusahaan. Bahkan kompetisi yang tinggi akan semakin mempersulit untuk dapat bersaing. Sebagai referensi pada tahun 2007 sebuah perusahaan televisi memberitakan lebih dari 110.00 pelamar kerja untuk memperebutkan 500 kesempatan kerja di Trans TV. Ternyata sebuah lowongan kerja diperebutkan 200 orang. Inilah fakta yang menyakitkan ternyata lapangan kerja di Indonesia sangat terbatas.
Ir. Ciputra dalam bukunya “Ciputra Quantum Leap†memaparkan bahwa setiap tahun perguruan tinggi di Indonesia menghasilkan lebih dari 300.000 lulusan, sebagai contoh tahun 2005/06 terdapat 323.902 lulusan Perguruan Tinggi. Namun daya serap lapangan kerja untuk mereka terlalu sedikit, sehingga pada bulan Februari 2007 terdapat lebih dari 740.000 lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Hal ini sangat mencemaskan ialah angka ini cenderung naik pesat dari waktu ke waktu. Dalam waktu enam bulan, dari Agustus 2006 hingga Februari 2007, penganggur terdidik naik sebesar 66.578 orang (9,88 persen), artinya dalam setahun bisa mencapai 20 persen. Lebih menyedihkan lagi bila kita mengikutkan kelompok penganggur terdidik yang setengah menganggur. Pada bulan Februari 2007 sudah terdapat 1,4 juta, atau naik sekitar 26 persen dibandingkan Februari 2006. dan pada akhir tahun 2009 diperkirakan akan ada 1.100.000 orang penganggur terdidik di Indonesia. Akankah masalah berat ini terus tumbuh?.
Akar Permasalahan
Semakin membengkaknya lulusan perguruan tinggi yang menganggur semakin menunjukkan bahwa ketersediaan lapangan kerja yang sangat terbatas. Namun hal tersebut bukanlah hal utama yang menjadi penyebab tingginya pengangguran lulusan perguruan tinggi.
Ada beberapa akar permasalahan lain yang menjadi penyebab lulusan perguruan tinggi menganggur.
1. Lapangan Kerja yang terbatas. Menjadi prioritas utama yang perlu diperhatikan, bahkan setiap Pemilu, Pilpres, dan Pilkada, lapangan pekerjaan menjadi prioritas utama dari para calon yang bersaing. Namun tidak satu pun sampai dengan saat ini mampu memberikan solusi, bahkan semakin memperparah keadaan. Karena setiap mendekati pemilu, pilpres dan pilkada investor takut, menjadi korban kegiatan politik tersebut.
2. Mindset (pola pikir) yang masih menganggap bahwa setelah lulus mencari kerja. Setiap lulusan perguruan tinggi memiliki ekspketasi (harapan) berkerja di tempat yang bagus, lalu mendapatkan gaji yang besar. Mulailah mereka mengirim surat lamaran kebanyak tempat, dengan harapan langsung berkerja. Tapi realitas yang dihadapi tidak demikian. Karena itu mindset setiap lulusan, orangtua, dan masyarakat mulai saat ini perlu mengubah cara pandang bahwa lulusan perguruan tinggi kedepan yang berhasil adalah mereka yang mampu menciptakan lapangan kerja baru, bukan mencari kerja.
3. Kompetisi yang sangat tinggi, ikut menyebabkan semakin sempitnya lulusan perguruan tinggi untuk dapat bersaing. Setiap tahun ratusan ribu lulusan dihasilkan dari perguruan tinggi dengan latar belakang jurusan ilmu yang berbeda. Persaingan ini sudah barang tentu akan mengakibatkan porsi lapangan kerja yang tersedia dengan lulusan yang ada tidak seimbang. Sudah barang tentu akan banyak lulusan yang menganggur. Hal ini tidak saja terjadi di beberapa daerah tertentu saja, dalam dua atau tiga tahun kedepan di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung ini akan terjadi ledakan lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Sedangkan sektor formal yang tersedia tidak akan dapat memenuhi hasrat kebutuhan lulusan yang lulus beberapa tahun kedepannnya. Oleh karena itu perlu diantisipasi sejak dini untuk menghindari jangan sampai terjadi hal demikian. Mahasiswa, orangtua, masyarakat, pemerintah dan perguruan tinggi perlu duduk bersama dalam memecahkan hal tersebut.
4. Kurikulum yang belum banyak memperkenalkan sisi entrepreneur. Kurikulum yang memperhatikan sisi entrepreneur dirasakan masih kurang. Karena entrepreneur sendiri masih dianggap bukan tujuan utama dari dunia pendidikan kita. Kesiapan memasuki dunia kerja lebih dikedepankan. Akibatnya tidak ada Link and Match (hubungan yang erat ) antara dunia pendidikan dan dunia entrepreneur yang paling banyak kesempatannya.
5. Tenaga Pengajar dalam hal ini dosen atau guru, masih memberikan pola pengajaran problem based learning yang belum menyentuh sisi entrepreneur. Sudah saatnya para dosen dan guru untuk mengarahkan kreatifitas dan mendedikasikan kepada yang diajarnya bahwa entrepreneur yang terdidik akan memberikan manfaat yang sangat besar. Dalam pengajaran terus ditekankan arti penting entrepreneur bagi lulusan kedepan. Bukan sekedar mengajar, tapi sudah merambah menciptakan kesempatan kerja baru bagi lulusannya kedepan. Peran dosen dan guru adalah sebagai inspirator, motivator, dan fasilitator untuk menghasilkan lulusan yang mampu memberikan kotribusi besar bagi dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena itu dalam setiap diri dosen dan guru harus telah dibekali metodologi pembelajaran project based system, untuk membina entrepreneur bagi mahasiswa.
6. Skill (Keahlian) yang berbeda dengan kebutuhan dunia kerja. Sekarang ini lapangan kerja yang tersedia menginginkan setiap pekerja-nya memiliki keahlian yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Tapi, tidak banyak seseorang lulusan memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan. Nah, hal ini akan menjadi tantangan yang sangat besar, karena pada akhirnya semuanya membutuhkan kreatifitas, dan inovasi, dan ini sangat berguna dalam menciptakan entrepreneur muda dengan gagasan baru yang unik bagi kemapanan bangsa indonesia.
Arah dan Peran Pendidikan
Lalu kemanakah arah dan peran pendidikan kita?. Perlu pergeseran paradigma, demikian yang perlu kita lakukan. Pola pikir (mindset) bahwa setelah lulus mencari kerja sangat penting untuk diubah. Pola pengajaran kepada mahasiswa pun secara revolusioner harus diubah, kurikulum dan petrangkat pengajaran yang sudah tidak relevan sudah saatnya dirombak. Karena dengan demikian perguruan tinggi akan mampu mendidik entrepreneur baru.
Menciptakan kreatifitas, inovasi, dan menggugah kesadaran entrepreneur sangat penting dilakukan oleh para dosen/tenaga pendidik. Karena peran dosen adalah inspirator, fasilitator dan motivator bagi mahasiswanya. Peran ini sangat mulia untuk mengatasi permasalahan lapangan kerja yang sedang dihadapi oleh Bangsa Indonesia.
Secara umum gagasan ideal pendidikan di Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mencukupi kehidupan materi lahir dan batin anak bangsa. Kemiskinan dan kesengsaraan bukan lagi menjadi sesuatu yang akrab ditelinga kita. Namun kebutuhan dan kompetisi yang luar biasa telah memaksa anak bangsa harus menerima kenyataan, negara tidak sanggup mencukupi kebutuhan semua anak bangsa. Baik yang berpendidikan hanya sebatas SMA bahkan lulusan perguruan tinggi bukan lagi jaminan untuk memperoleh lapangan pekerjaan yang layak. Lantas siapa yang bertanggung jawab?
Berapa Banyak Entrepreneur Yang Harus Kita Miliki
Berbicara tentang entrepreneur, tidak akan terlepas dari negara Singapura. Dengan jumlah entrepreneur mencapai 7,2 persen penduduknya, Singapura merupakan negara yang paling banyak menghasilkan entrepreneur.
Di Amerika Serikat jumlah entrepreneur hanya mencapai 2,14 persen dari jumlah penduduknya. Sedangkan Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 220 juta jiwa hanya memiliki sekitar 400.000 pelaku usaha mandiri atau sekitar 0,18 persen.
Kondisi ini sungguh memperihatinkan, mengingat sumber daya alam yang berlimpah, tetapi pelaku usaha mandiri tidak berkembang dengan baik, karena tidak adanya semangat entrepreneurship. Kondisi sumber daya alam Indonesia minim pengelolaannya oleh anak negeri.
Mengutip majalah The Economist, Indonesia merupakan pengahasil gas alam kedelapan terbesar di dunia, pengahsil batubara dan emas ketujuh terbesar di dunia, serta penghasil tembaga dan nikel nomor lima di dunia. Penghasil karet nomor dua dunia dan minyak sawit nomor satu di dunia. Bahkan Indonesia merupakan negara pengahasil Timah dan Lada terbaik di dunia.
Tapi sampai dengan saat ini kita masih bergulat dengan hal-hal yang tidak terlalu signifikan dalam pengembangan industri. Semangat entrepreneurship belum kuat tertanam. Sumber daya alam yang berlimpah seakan tidak memberikan arti dan makna dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Sekarang atau tidak sama sekali, mari kita mendidik entrepreneur- entrepreneur baru yang terdidik, memiliki pandangan yang kreatif dan inovatif, semangat pantang menyerah. Dalam hal ini dosen dan guru sudah saat merubah orientasi lulusan bukan lagi mereka diarahkan mencari kerja, tetapi mampu menciptakan lapangan kerja baru. Dengan semangat Anak Muda Lain Mencari Kerja, Kami Anak Muda Yang Menciptakan Lapangan Kerja, kita ciptakan lulusan yang berjiwa entrepreneurship.
|
|
|
|